
Hari Raya Galungan merupakan salah satu hari suci bagi umat Hindu di Bali. Dirayakan setiap 210 hari sekali, Galungan menjadi simbol kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan). Namun, di balik prosesi adat, suguhan, serta suasana meriah yang khas, Galungan juga menyimpan makna mendalam yang sangat relevan bagi generasi muda masa kini. Di tengah derasnya perkembangan teknologi, arus globalisasi, dan gaya hidup modern, Galungan menjadi momen reflektif untuk memperkuat kembali identitas budaya, spiritualitas, dan rasa kebersamaan.
Bagi generasi muda, memaknai Hari Raya Galungan bukan hanya soal menyiapkan penjor, mengikuti persembahyangan, atau memposting foto di media sosial. Lebih dari itu, Hari Raya Galungan dapat dijadikan sebagai ruang untuk kembali mengingat bahwa hidup adalah tentang menjaga keseimbangan: antara dunia nyata dan digital, antara kewajiban dan kesenangan, serta antara perkembangan diri dan akar budaya yang diwariskan leluhur.
Salah satu cara generasi muda memaknai Hari Raya Galungan adalah dengan berpartisipasi aktif dalam proses persiapan bersama keluarga. Mulai dari mejejahitan, membantu membuat banten, hingga memasang penjor di depan rumah. Aktivitas sederhana ini bukan hanya melatih kedisiplinan dan tanggung jawab, tetapi juga menghadirkan momen kebersamaan yang jarang terjadi di hari-hari biasa. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, anak muda dapat memahami filosofi di balik setiap banten serta nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya Bali.
Tak kalah penting, Hari Raya Galungan juga dapat menjadi momen untuk memperkuat hubungan antargenerasi. Di era modern, kesenjangan cara pandang antara orang tua dan anak muda kerap terjadi. Namun saat Hari Raya Galungan tiba, tradisi menyediakan ruang tumbuhnya dialog dan pemahaman. Generasi muda bisa belajar tentang tattwa, cerita leluhur, serta ajaran dharma dari orang tua atau kakek-nenek. Di sisi lain, orang tua dapat melihat bahwa anak muda tetap memiliki kepedulian terhadap budaya meskipun hidup di era digital.
Selain urusan adat dan ritual, generasi muda juga dapat memaknai Hari Raya Galungan sebagai pengingat untuk menang melawan “adharwa” modern yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari, misalnya kemalasan, kecanduan gawai, kurangnya empati, hingga perilaku tidak produktif. Kemenangan dharma dapat dimaknai sebagai kemenangan atas diri sendiri, yaitu melakukan kebaikan, menjaga kesehatan mental, memupuk kreativitas, serta membangun masa depan yang lebih baik.
Di era media sosial, Hari Raya Galungan bisa menjadi momentum bagi generasi muda untuk menyebarkan pesan positif. Bukan sekadar memamerkan foto pakaian adat, tetapi juga mengajak teman sebaya untuk tetap menjaga tradisi, menghormati keluarga, dan merayakan hari raya dengan penuh kebersamaan. Konten reflektif, caption bermakna, hingga video edukatif mengenai filosofi Hari Raya Galungan bisa menjadi bentuk kontribusi kreatif dalam pelestarian budaya.
Pada akhirnya, memaknai Hari Raya Galungan bagi generasi muda adalah tentang bagaimana menerjemahkan nilai dharma ke dalam kehidupan sehari-hari, berbuat baik, jujur, disiplin, rendah hati, dan memiliki tujuan hidup yang positif Hari Raya Galungan tidak hanya dirayakan di pura, tetapi juga dalam tindakan kecil yang kita lakukan setiap hari.
Mari, generasi muda! Jadikan Hari Raya Galungan bukan sekadar tradisi enam bulan sekali, tetapi momentum untuk memperkuat jati diri, merawat budaya, dan menjadi pribadi yang lebih baik. Karena dharma bukan hanya dipelajari, tetapi dijalani. Selamat Hari Raya Galungan, semoga kedamaian senantiasa menyertai kita semua.

































Users Today : 338
Views Today : 745
Total views : 3518297
Who's Online : 3