
Di tengah padatnya aktivitas kuliah, tuntutan tugas, organisasi, hingga pekerjaan part time, mahasiswa sering kali terjebak dalam rutinitas yang menguras energi fisik dan emosional. Banyak dari mereka yang berfokus mengejar prestasi akademik tanpa menyadari bahwa kesehatan mental merupakan fondasi utama untuk tetap produktif, kreatif, dan mampu berkembang secara berkelanjutan. Karenanya, mental health awareness bukan lagi sekadar isu, tetapi sudah menjadi kebutuhan penting di lingkungan pendidikan tinggi.
Berdasarkan Laporan Riskesdas 2024 mencatat prevalensi gangguan mental emosional pada remaja dan dewasa muda di Indonesia mencapai 13,5% pada kelompok usia 15–24 tahun. Angka ini tidak bisa dianggap kecil. Sementara itu, Katadata Insight Center (KIC) 2024 menemukan bahwa 1 dari 4 Gen Z di perkotaan pernah mengalami gejala depresi atau kecemasan berlebih. Tekanan akademis, tuntutan ekonomi, budaya kerja yang serba cepat, hingga kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain di media sosial membuat mereka berada di posisi rawan yang disebut jadi “overthingking”.
Dampak Jika Kesehatan Mental Diabaikan
Mengabaikan kesehatan mental mahasiswa bisa menimbulkan berbagai konsekuensi serius:
- Penurunan performa akademik — mahasiswa dengan stres, kecemasan, atau depresi berat cenderung sulit berkonsentrasi, kehilangan motivasi, atau bahkan drop out.
- Kualitas hidup memburuk — gangguan tidur, mood yang naik-turun, rasa cemas atau putus asa bisa mempengaruhi keseharian dan kesejahteraan secara umum.
- Gangguan relasi sosial — mahasiswa bisa menarik diri dari pertemanan, merasa terisolasi, atau kesulitan bersosialisasi karena beban mental.
- Risiko kesehatan jangka panjang — jika tidak ditangani, stres kronis dan depresi bisa berkembang menjadi gangguan mental yang lebih serius.
Apa yang Bisa Dilakukan Mahasiswa?
Untuk membantu menjaga kesehatan mental mahasiswa, beberapa langkah berikut bisa diambil:
- Mahasiswa sendiri perlu membangun kebiasaan hidup sehat — atur jadwal tidur, olahraga rutin, batasi beban kerja jika memungkinkan, dan sediakan waktu untuk istirahat maupun hiburan.
- Kesadaran & literasi mental — dorong diskusi terbuka soal kesehatan mental, pahami gejala stres/depresi, dan tanamkan bahwa meminta bantuan adalah tindakan berani, bukan kelemahan.
- Dukungan sosial — teman, keluarga, komunitas kampus bisa berperan besar: mendengarkan tanpa menghakimi, memberi empati, saling bantu ketika ada yang kesulitan.
- Manajemen waktu & prioritas — belajar untuk berkata “tidak” ketika terlalu banyak beban, alokasikan waktu untuk istirahat, belajar, kerja, dan kehidupan pribadi secara seimbang.
Kesehatan mental bukan sekadar “masalah pribadi”, melainkan bagian penting dari keseluruhan kesejahteraan mahasiswa. Dengan data yang menunjukkan bahwa banyak generasi muda di dunia maupun di Indonesia berjuang menghadapi stres, kecemasan, depresi, hingga gangguan tidur, jelas bahwa perhatian terhadap isu ini sangat dibutuhkan.
Mahasiswa yang sehat secara mental tidak hanya lebih mampu menghadapi akademik dan kehidupan kampus, tetapi juga lebih siap membangun karier dan kehidupan pasca-kuliah. Oleh karena itu, kesadaran dan penerimaan terhadap kesehatan mental harus terus didorong baik dari diri sendiri, teman, keluarga, maupun institusi kampus.







Users Today : 259
Views Today : 509
Total views : 3534159
Who's Online : 5